Tulisan ini diinspirasikan oleh http://theurbanmama.com/articles/because-one-day-mommy-i-wont-be-this-small.html

Sejak hari Minggu pagi sebenarnya saya merasa badan sedang kurang fit. Mungkin pengaruh dari diet karbo bersamaan dengan saya kurang tidur dan memulai rutinitas lari pagi keliling kompleks. Kepala kliyengan, pusing, dan mata selalu terasa berat. Otomatis saya memilih tidur malam lebih cepat (dibanding biasanya) daripada harus tergantung sama obat sakit kepala atau obat-obatan lain.

Tadi malam saya tertidur jam 9 kurang setelah jauh sebelumnya Denyar tidur lelap di dalam boks-nya (biasanya dia memang tidur sekitar jam 7 – 7.30 malam). Lut pun menyusul saya tidur gak berapa lama kemudian. Tiba-tiba sekitar jam 10-an, saya mendengar Denyar merengek. Karena sudah menjadi rutinitas malam dan sepertiga malam, saya pun terbiasa otomatis bangun, mengambil Denyar dari boks, dan mempersiapkan menyusuinya. Ada yang berbeda dari dia; dia menolak menyusu, dan matanya mengajak bermain sambil sesekali bibir mungilnya menyungging simpul tanda keisengan yang direncanakan. Saya melihat jam dinding, saya pikir sudah diatas jam 12 malam (jam-jam biasa dia menyusu) ternyata masih jauh dari jam 12. Pantas saja dia belum lapar dan tidak ingin menyusu, pikir saya. Lantas saya berpikir alasan dia merengek adalah mengganti diapers-nya yang mungkin sudah terasa penuh. Setelah saya ganti, dan saya kembalikan ke boks-nya, ternyata dia masih merengek memanggil. Lalu apa lagi ini? Saya ambil lagi dalam kondisi sudah sangat mengantuk, saya gendong beberapa saat dan saya bilang padanya “Bu ngantuk sekali, Denyar tidur ya, ini masih malam”. Dia malah ketawa geli sambil memanjat tubuh saya dan berdiri di atas kasur. Saya bilang lagi “Ayo ah tidur, lampu sudah mati, bukan saatnya main”. Dia makin senang saya ajak bicara, dipikir main. Makin tertawalah dia, dan berdirinya pake lonjak-lonjak. Saya masih sabar, akhirnya saya gendong dan tidurkan di tengah-tengah saya dan ayahnya, bukan di boks. Sambil saya berbaring dan memejamkan mata, berharap dia melihat saya tidur (dan apalagi ayahnya tidur lelap) dia juga berpikir untuk tidur juga. Tidak berhasil! Dia duduk lagi dan narik-narik daster saya serta ngoceh ngajak main. Kepala saya semakin pusing, badan semakin limbung, akhirnya hilang kesabaran di ambang kesadaran saya. Saya bilang dengan tegas dan mengacungkan telunjuk di depan muka kecil Denyar, “Denyar! Kalau tidak mau tidur main sendiri aja ya, Bu mau tidur, sudah malam! Bu gak mau main sama Denyar, ini jam tidur. Ayo, Denyar mandiri!” langsung saya gendong dia kembali lagi ke dalam boks. Dia melihat saya sambil senyum. Saya teruskan ‘omelan’, “Gak, Bu gak ajak Denyar becanda. Bu serius. Denyar di dalam boks, tidur atau main, terserah. Tidak pakai rewel!” Dia pun seperti mengerti, lantas merengek sambil mencari boneka kesayangannya untuk dipegang. Saya pergi tidur yang kebetulan samping-sampingan dengan boksnya. Dari tempat tidur saya, bisa terlihat dia di dalam boks duduk memegang boneka dan sesekali memandangi saya yang lama-lama terpejam.

Jam 1.30 pagi saya terbangun, dan mendapati dia sudah berganti posisi; terlentang masih dengan boneka (tapi boneka yang lain) dan mulai menguap-nguap dan bersiap tidur. Saya berarti telah meninggalkan dia lebih dari 1 jam main dan upyek-upyek sendirian di dalam boksnya. In a way, saya puas, karena Denyar akhirnya beneran bisa ditinggal tanpa rewel berkepanjangan, dan bisa mandiri main sendiri sesuai harapan saya. Saya angkat dia, susui (dan dia mau), lantas dia pun beneran terlelap.

Pagi ini tertohok oleh artikel yang saya sudah link-an di atas, dan saya menjadi berpikir betapa sedih dan menyesalnya saya. Tidak setiap hari dia bangun dan mengganggu saya tidur untuk bermain bersama, tapi saya tolak karena saya mau meneruskan tidur yang saya anggap lebih berharga. Saya semakin mewek ketika ingat apa saja yang saya ucap ke Denyar tadi malam yang semoga saja tidak akan ia ingat dan menjadi rekaman pengalaman sedih untuknya.

Anak itu cepat sekali besar, kata seorang teman. Nanti ada masanya dia sudah tidak lagi mau nonton tv bersama kita, tidak mau lagi dipeluk lama-lama, tidak mau lagi dicium bibir atau pipinya, tidak mau lagi melibatkan kita dalam agenda kegiatannya, lanjut teman itu lagi. Teringat saya akan teman saya yang lain, yang patah hati ketika anaknya yang berusia 2 tahun sudah menyebutkan diri sendiri dengan sebutan “aku”, bukan lagi namanya. Teman saya sedih luar biasa, menyadari bahwa anaknya sudah semakin besar. Oleh karena itu, selagi anak sedang manja-manjanya ke kita, sedang tergila-gilanya sama kita, sedang bergantung dengan kita, jangan disia-siakan momen-momen tersebut. Karena kita harus sadar, bahwa waktu akan cepat sekali berjalan nanti.

Image

my box my territory!