127520491

 

Inget gak sih ada nasihat orang tua atau guru yang ‘jangan pilih-pilih teman’? *eh apa cuma saya doang yg dulu dpt nasihat begini*

Sepertinya nasihat itu menjadi agak terabaikan seiring kita (terutama saya) lebih dewasa. Kenapa? Apakah saya jadi milah2 yang mana yang saya ajak berteman? Tentu tidak segamblang itu penjelasannya. Yang jelas pemilihan teman baru itu saya memang putuskan secara bijak; apakah pertemanan itu membawa manfaat atau sebaliknya. Dan seringkali saya mulai perlahan-lahan menjauh dari teman yang ‘tidak bermanfaat’, dan bahkan merugikan. Itu seleksi natural, yang saya rasa terjadi juga sama sebagian besar orang bersosialisasi.

Juga, semakin kesini semakin saya bisa mengkotak-kotakkan teman sesuai ‘manfaat’. Loh, apalagi ini? Jadi gini, saya tetap berteman dengan siapa saja (asalkan yang bermanfaat dan tidak merugikan itu tadi), tapi saya juga memilah-milah kegiatan bersama yang dilakukan dengan teman. Hal ini dilakukan supaya tidak awkward, bikin tersinggung, dan tetap klop. Contohnya, saya punya teman-teman khusus untuk clubbing (meskipun udah jarang ketemu karena gak pernah clubbing lagi, tapi masih sering komunikasi), saya pun punya teman-teman khusus untuk pengajian/tausiyah bareng, ada lagi teman-teman lajang yang selalu mencoba tempat makan/ngopi baru, atau teman-teman sesama ibu-ibu yang rempong ngurus anak. Bahkan ada teman-teman tertentu yang gemah ripah loh jinawi, yang senantiasa saya mintakan bantuan kalau ada kebutuhan *hahaha. (Sebaliknya sih, ada teman yang setiap ngubungin saya nanyanya “lagi ada uang gak utk gue pinjem?”. Kalo gak ada kebutuhan dan kewajiban bayar pinjaman, dia gak jelas ada dimana hehe)

Nah kan.. kalo gitu, akan sangat awkward dong, kalau pengkotak-kotakan itu tidak ada? ya gak mungkin teman-teman yang sering ikut pengajian bareng terus saya ajak clubbing. Gak mungkin juga saya konsultasi tentang dokter anak ke teman yang lajang. Jadi sebisa mungkin ya ikutin boks-boks atau kotak-kotak yang sudah kita buat sendiri tersebut untuk memilah mana teman yang untuk kegiatan A, B, C dst.

Tapi ternyata saya ketulah
. Semasa saya lajang saya sering diajak pergi sama beberapa teman dekat (gank A, misalnya), dari mulai nonton film terbaru di bioskop, jalan-jalan di mall baru, nongkrong-nongkrong di kafe/bar lucu, traveling murah meriah ke luar kota, sampai pajamas party di hotel/apartemen/rumah salah satu teman. Ajakan itu perlahan berubah menjadi sedikit sekali dan kemudian hampir tidak ada lagi, setelah saya berkeluarga (dan punya anak).  Kebetulan gank A tersebut memang anggotanya masih pada lajang semua, jadi agenda dan rutinitas mereka mungkin tidak ada yang berubah. Saya sering dengar mereka ngumpul-ngumpul persis kayak beberapa waktu lalu waktu saya masih ‘aktif disana’, tapi tidak ada satupun yang menghubungi saya untuk mengajak. Mungkin mereka pikir, di kotak yang mereka buat tersebut tidak ada penempatan kualifikasi saya lagi. Atau ya sesimpel ini, mereka tidak menganggap saya ‘bermanfaat’ lagi untuk mereka. Ya, sedih sih, tapi itu risiko. Risiko diseleksi oleh teman sendiri. Padahal, meskipun saya sudah ada beberapa perubahan aktivitas, agenda maupun rutinitas, saya kan tetap orang yang sama.

Lucunya, ada beberapa dari mereka yang masih menghubungi saya untuk mengajak ngobrol. Tapi sangat terasa sekali lah perbedaan isi obrolannya. Dulu bisa ngomongin panjang lebar tentang blind date, one night stand, affair, sampai curhat tentang pertengkaran dengan orang tua; sekarang kalo diajak ngobrol saya cuma ditanya kabar saya, kabar suami, kabar anak, dan kesibukan saya akhir-akhir ini. Sungguh pembicaraan yang standar, seperti basa-basi-wartawan-infotainment-yang-saking-gak-ada-sumber-berita-jadi-cari-bahan-dari-artis-senior-yang-udah-gak-laku.

Karma kicks hard, ya?